Minawang; Hubungan Patron-Klien di Sulawesi Selatan
Judul
Buku : Minawang: hubungan
patron-klien di Sulawesi Selatan
Pengarang : Heddy Shri
Ahimsa Putra
Penerbit
: Gajah Mada
University Press.Yogyakarta
Tahun
Terbit : 1988
Deskripsi
Fisik : ix, 187 hal.; 21 cm
“…suatu kasus khusus hubungan antar dua orang yang sebagian
besar melibatkan persahabatan instrumental, di mana seseorang yang lebih tinggi
kedudukan sosial ekonominya (patron) menggunakan pengaruh dan sumber daya yang
dimilikinya untuk memberikan perlindungan atau keuntungan atas kedua-duanya
kepada orang yang lebih rendah kedudukannya (klien). Hingga kemudian giliran
klien membalas pemberian tersebut dengan memberikan dukungan yang umum dan
bantuan termasuk jasa-jasa pribadi kepada patron” (Scout: 1972)
Demikianlah pengertian hubungan patron-klien menurut James C. Scott yang di sesuaikan
penulis (Ahimsa Putra) dengan obyek
studi kasusnya yaitu masyarakat Sulawesi Selatan. Budaya Patronase atau
Patron-Klien merupakan sebuah ciri khas dari mozaik kebudayaan di Nusantara. Patron
klien sebagai sebuah budaya yang bersifat emosional dan berkelanjutan yang
dianut oleh sebagian besar penduduk Nusantara. Dimana budaya ini mendapat
perhatian serius dari para Antropolog karena masih bertahan sampai saat ini.
Jadi, yang dimaksud dengan hubungan patron-klien adalah sebuah
hubungan kerja sama atau timbal balik yang
dilakukan oleh individu ataupun kelompok yang didasarkan atas perasaan saling
membutuhkan antara Patron (pemberi)
dan Klien (penerima).
Secara umum, budaya patron-klien dapat ditemukan dikehidupan
masyarakat pedesaan. Sebagai contoh, di Jawa (yang masyarakatnya agraris dan
kental dengan budaya patriarki), budaya ini telah ada sejak zaman kerajaan
dengan pola hubungan keloyalan masyarakat terhadap pemberian Raja. Kemudian pada masa kolonial terdapat hubungan antara
para Bupati dan rakyatnya yang saling mengisi. Sedangkan di Sulawesi selatan
yang mayoritas penduduknya suku Bugis, hubungan patron-klien ini dikenal dengan
“Minawang”.
Berjalannya hubungan Patron-klien tidak akan berjalan mulus
tanpa ada unsur-unsur yang menyertainya, antara lain : *) Apa yang diberikan
oleh satu pihak berharga di mata pihak lain, sehingga timbul keinginan atau
rasa ingin membalas pemberian tersebut. *) Adanya hubungan timbal balik
(sebagai reaksi dari unsur pertama). *) Adanya norma dalam masyarakat yang
memberi hak klien untuk melakukan penawaran , ( bila pemberian tidak sesuai
boleh pindah patron).
Lebih jauh lagi James
C. Scott mengungkapkan
cirri-ciri hubungan patron-klien yaitu:
À Adanya ketidaksamaan (inequality)
dalam pertukaran timbal balik.
Pemberian sang patron kepada klien
dianggap tidak seimbang, sehingga mengikat klien untuk senantiasa loyal pada
patron.
Hal
ini dikritisi oleh Ahimsa yang
memandang ketidaksamaan ≠ keseimbangan.
Point ini dapat menimbulkan dua
kemungkinan, pertama adanya rasa saling ketergantungan yang berakibat
mempererat hubungan antara patron dan klien, kedua klien melepaskan diri dari
patron, karena apa yang dia terima merasa tidak sebanding dengan yang dia beri.
À Adanya sifat tatap muka (face to
face character)
Pengaruh chemistry yang mempengaruhi berjalannya hubungan ini lebih dekat,
lebih dari sekedar hubungan kerja sama karena ada unsur emosional di dalamnya.
À Bersifat luwes dan meluas (diffuse
flexibility)
Hubungan tidak hanya sebatas
kebutuhan saat ini, akan tetapi dapat meluas sebagai teman di waktu kecil,
tetangga dsb.
Patron-Klien di Sulawesi Selatan
Pelras seorang ahli yng berasal dari Prancis pernah berpendapat bahwa ikatan antara patron-klein ini merupakan kunci dalam masyarakat Bugis-Makasar di Sulawesi Selatan. Hubungan ini dikenal dengan nama “Minawang”. Dimana hubungan itu di kalangan orang Bugis dapat terjadi antara ajjoareng (seseorang yang menjadi panutan – bisa seorang punggawa, aru, karaeng ataupun pemuka masyarakat) dengan joa (para pengikut ajjoareng dan biasanya berasal dari golongan maradeka – merdeka). Dalam masyarakat Makassar, ajjoareng (para patron) tersebut adalah para karaeng atau anakaraeng, dan joa-joanya disebut ana’-ana’ atau taunna (orang-orangnya). Hubungan antara karaeng dengan taunna itulah yang disebut dengan “Minawang” (mengikuti), yang maksudnya Menurut Kooreman adalah ikatan antar mereka. bersifat sukarela dan dapat diputuskan setiap saat.
Prinsip mereka dalam
hubungan ini adalah golongan yang lebih tinggi memiliki kekuatan yang lebih
dimata masyarakat Sulawesi Selatan umumnya. Sehingga terlihat jelas strata yang
terbentuk dimasyarakat ini. Tentunya tiap strata memiliki hak dan kewajiban
yang harus dijalankan oleh masing – masing agar terjadi keseimbangan. Adapun
hukum adat yang berlaku di kawasan Sulawesi Selatan adalah:
“…bahwa golongan yang lebih rendah tidak
berkuasa atas golongan yang lebih tinggi, dan ini berkaitan juga dengan soal
martabat. Hal yang sebaliknya juga terjadi, yaitu makin banyak pengikut makin
tinggi pula martabat seorang anakaraeng atau karaeng.” (Heddy, 2007, 20:3)
Orang
Makasar memiliki ungkapan untuk saling mendukung dan menguatkan antara
martabat, tingkat kebangsawanan dan banyaknya pengikut dalam masyarakat
Sulawesi tertulis seperti berikut:
“…bahwa seorang karaeng yang baik mempunyai
pengikut yang baik, sedang karaeng yang jelek, jelek pula pengikutnya.” (Heddy,
2007, 21:1)
Pada studi dalam masyarakat Sulawesi ini, dapat kita lihat
hubungan Patron-Klien sebagai suatu hubungan yang lumrah dalam masyarakat di
Sulawesi Selatan. Karena hubungan ini sudah masuk kedalam lingkup kebudayaan
masyarakat setempat Dalam beberapa kasus, seorang karaeng ( bangsawan)
mempunyai kewajiban untuk memenuhi kebutuhan pengikutnya. Dia memberikan
bantuan dengan menyediakan sawah, atau tanah untuk digarap, kerbau untuk
membajak, bahkan ketika pengikut Klien mengalami musibah seorang Karaeng
memberikan pertolongan dan memberikan bantuan keuangan.
. Contoh lain dari hubungan Patron-Klein di daerah bangsawan
Mandar, mereka menggarapakan tanah-tanah (tanah akarungeng) milik para
bangsawan kepada para pengikutnya. Hubungan ini apabila dilihat dari sudut
padang penelitian Etik, hanya bersifat sebagai hubungan kerja yang ada dalam
struktur masyarakat agraris di Jawa.
Hubungan patron-klien masih tetap bertahan menurut Ahimsa,
dikarenakan rasa tidak aman yang dihadapi individu-individu yang hidup dalam
kelangkaan akan barang-barang yang perlu untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
Sehingga untuk mengatasi hal itu mereka mereka (para klien) menggantungkan diri
pada yang lebih berkuasa agar dilindungi dan disupply barang-barang yang
dibutuhkannya. Hal ini disebabakan beberapa factor antara lain : sering terjadi
perang, yang berdampak pada minimnya sumber daya yang dimiliki penduduk.
Penulis dalam buku ini berusaha
menyajikan bagaimana pola hubungan patron-klien yang ada di Sulawesi selatan,
namun di satu sisi ia juga mengkritisi pendapat para tokoh sebagaimana yang
dungkapkannya “…uraian saya pada bab 3 memperlihatkan bahwa tidak semua kondisi
yang dinyatakan oleh Scott dapat kita temukan disana. Hanya beberapa kondisi
yang yang sesuai dengan pandangan Scott,
bahkan kalau boleh dikatakan bertentangan.”
Apapun itu, hubungan patron klien
disatu sisi membawa keuntungan bagi kedua belah pihak namun di sisi lain juga
Nampak tidak sehat (adanya faktor-faktor X yang mempengaruhi), tidak
semata-mata berlandaskan kesetiaan. Namun jika kedua pihak merasa benar-benar
membutuhkan selayaknya hubungan ini tetap dipertahankan sebagai bagian dari
budaya masyarakat Indonesia yang berbineka tunggal ika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar