Sabtu, November 10, 2012

Minawang (Pengantar Antropologi)


Minawang; Hubungan Patron-Klien di Sulawesi Selatan


                                   Judul Buku                  : Minawang: hubungan patron-klien di Sulawesi Selatan
                                    Pengarang                   : Heddy Shri Ahimsa Putra
                                    Penerbit                      : Gajah Mada University Press.Yogyakarta
                                    Tahun Terbit               : 1988
                                     Deskripsi Fisik           : ix, 187 hal.; 21 cm



“…suatu kasus khusus hubungan antar dua orang yang sebagian besar melibatkan persahabatan instrumental, di mana seseorang yang lebih tinggi kedudukan sosial ekonominya (patron) menggunakan pengaruh dan sumber daya yang dimilikinya untuk memberikan perlindungan atau keuntungan atas kedua-duanya kepada orang yang lebih rendah kedudukannya (klien). Hingga kemudian giliran klien membalas pemberian tersebut dengan memberikan dukungan yang umum dan bantuan termasuk jasa-jasa pribadi kepada patron” (Scout: 1972)


Demikianlah pengertian hubungan patron-klien menurut James C. Scott yang di sesuaikan penulis (Ahimsa Putra) dengan obyek studi kasusnya yaitu masyarakat Sulawesi Selatan. Budaya Patronase atau Patron-Klien merupakan sebuah ciri khas dari mozaik kebudayaan di Nusantara. Patron klien sebagai sebuah budaya yang bersifat emosional dan berkelanjutan yang dianut oleh sebagian besar penduduk Nusantara. Dimana budaya ini mendapat perhatian serius dari para Antropolog karena masih bertahan sampai saat ini.
Jadi, yang dimaksud dengan hubungan patron-klien adalah sebuah hubungan  kerja sama atau timbal balik yang dilakukan oleh individu ataupun kelompok yang didasarkan atas perasaan saling membutuhkan antara Patron (pemberi) dan Klien (penerima).
Secara umum, budaya patron-klien dapat ditemukan dikehidupan masyarakat pedesaan. Sebagai contoh, di Jawa (yang masyarakatnya agraris dan kental dengan budaya patriarki), budaya ini telah ada sejak zaman kerajaan dengan pola hubungan keloyalan masyarakat terhadap pemberian Raja. Kemudian  pada masa kolonial terdapat hubungan antara para Bupati dan rakyatnya yang saling mengisi. Sedangkan di Sulawesi selatan yang mayoritas penduduknya suku Bugis, hubungan patron-klien ini dikenal dengan “Minawang”.
Berjalannya hubungan Patron-klien tidak akan berjalan mulus tanpa ada unsur-unsur yang menyertainya, antara lain : *) Apa yang diberikan oleh satu pihak berharga di mata pihak lain, sehingga timbul keinginan atau rasa ingin membalas pemberian tersebut. *) Adanya hubungan timbal balik (sebagai reaksi dari unsur pertama). *) Adanya norma dalam masyarakat yang memberi hak klien untuk melakukan penawaran , ( bila pemberian tidak sesuai boleh pindah patron).
Lebih jauh lagi James C. Scott mengungkapkan cirri-ciri hubungan patron-klien yaitu:
À     Adanya ketidaksamaan (inequality) dalam pertukaran timbal balik.
Pemberian sang patron kepada klien dianggap tidak seimbang, sehingga mengikat klien untuk senantiasa loyal pada patron.
            Hal ini dikritisi oleh Ahimsa yang memandang ketidaksamaan ≠  keseimbangan.
Point ini dapat menimbulkan dua kemungkinan, pertama adanya rasa saling ketergantungan yang berakibat mempererat hubungan antara patron dan klien, kedua klien melepaskan diri dari patron, karena apa yang dia terima merasa tidak sebanding dengan yang dia beri.
À     Adanya sifat tatap muka (face to face character)
Pengaruh chemistry yang mempengaruhi berjalannya hubungan ini lebih dekat, lebih dari sekedar hubungan kerja sama karena ada unsur emosional di dalamnya.
À     Bersifat luwes dan meluas (diffuse flexibility)
Hubungan tidak hanya sebatas kebutuhan saat ini, akan tetapi dapat meluas sebagai teman di waktu kecil, tetangga dsb.

Patron-Klien di Sulawesi Selatan

            Pelras seorang ahli yng berasal dari Prancis pernah berpendapat bahwa ikatan antara patron-klein ini merupakan kunci dalam masyarakat Bugis-Makasar di Sulawesi Selatan. Hubungan ini dikenal dengan nama “Minawang”. Dimana hubungan itu di kalangan orang Bugis dapat terjadi antara ajjoareng (seseorang yang menjadi panutan – bisa seorang punggawa, aru, karaeng ataupun pemuka masyarakat) dengan joa (para pengikut ajjoareng dan biasanya berasal dari golongan maradeka – merdeka). Dalam masyarakat Makassar, ajjoareng (para patron) tersebut adalah para karaeng atau anakaraeng, dan joa-joanya disebut ana’-ana’ atau taunna (orang-orangnya). Hubungan antara karaeng dengan taunna itulah yang disebut dengan “Minawang” (mengikuti), yang maksudnya
Menurut Kooreman adalah ikatan antar mereka. bersifat sukarela dan dapat diputuskan setiap saat.
Prinsip mereka dalam hubungan ini adalah golongan yang lebih tinggi memiliki kekuatan yang lebih dimata masyarakat Sulawesi Selatan umumnya. Sehingga terlihat jelas strata yang terbentuk dimasyarakat ini. Tentunya tiap strata memiliki hak dan kewajiban yang harus dijalankan oleh masing – masing agar terjadi keseimbangan. Adapun hukum adat yang berlaku di kawasan Sulawesi Selatan adalah:
            “…bahwa golongan yang lebih rendah tidak berkuasa atas golongan yang lebih tinggi, dan ini berkaitan juga dengan soal martabat. Hal yang sebaliknya juga terjadi, yaitu makin banyak pengikut makin tinggi pula martabat seorang anakaraeng atau karaeng.” (Heddy, 2007, 20:3)
            Orang Makasar memiliki ungkapan untuk saling mendukung dan menguatkan antara martabat, tingkat kebangsawanan dan banyaknya pengikut dalam masyarakat Sulawesi tertulis seperti berikut:
            “…bahwa seorang karaeng yang baik mempunyai pengikut yang baik, sedang karaeng yang jelek, jelek pula pengikutnya.” (Heddy, 2007, 21:1)

Pada studi dalam masyarakat Sulawesi ini, dapat kita lihat hubungan Patron-Klien sebagai suatu hubungan yang lumrah dalam masyarakat di Sulawesi Selatan. Karena hubungan ini sudah masuk kedalam lingkup kebudayaan masyarakat setempat Dalam beberapa kasus, seorang karaeng ( bangsawan) mempunyai kewajiban untuk memenuhi kebutuhan pengikutnya. Dia memberikan bantuan dengan menyediakan sawah, atau tanah untuk digarap, kerbau untuk membajak, bahkan ketika pengikut Klien mengalami musibah seorang Karaeng memberikan pertolongan dan memberikan bantuan keuangan.
. Contoh lain dari hubungan Patron-Klein di daerah bangsawan Mandar, mereka menggarapakan tanah-tanah (tanah akarungeng) milik para bangsawan kepada para pengikutnya. Hubungan ini apabila dilihat dari sudut padang penelitian Etik, hanya bersifat sebagai hubungan kerja yang ada dalam struktur masyarakat agraris di Jawa.

Hubungan patron-klien masih tetap bertahan menurut Ahimsa, dikarenakan rasa tidak aman yang dihadapi individu-individu yang hidup dalam kelangkaan akan barang-barang yang perlu untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Sehingga untuk mengatasi hal itu mereka mereka (para klien) menggantungkan diri pada yang lebih berkuasa agar dilindungi dan disupply barang-barang yang dibutuhkannya. Hal ini disebabakan beberapa factor antara lain : sering terjadi perang, yang berdampak pada minimnya sumber daya yang dimiliki penduduk.
            Penulis dalam buku ini berusaha menyajikan bagaimana pola hubungan patron-klien yang ada di Sulawesi selatan, namun di satu sisi ia juga mengkritisi pendapat para tokoh sebagaimana yang dungkapkannya “…uraian saya pada bab 3 memperlihatkan bahwa tidak semua kondisi yang dinyatakan oleh Scott dapat kita temukan disana. Hanya beberapa kondisi yang yang sesuai dengan pandangan Scott,  bahkan kalau boleh dikatakan bertentangan.”
            Apapun itu, hubungan patron klien disatu sisi membawa keuntungan bagi kedua belah pihak namun di sisi lain juga Nampak tidak sehat (adanya faktor-faktor X yang mempengaruhi), tidak semata-mata berlandaskan kesetiaan. Namun jika kedua pihak merasa benar-benar membutuhkan selayaknya hubungan ini tetap dipertahankan sebagai bagian dari budaya masyarakat Indonesia yang berbineka tunggal ika.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar