PERADABAN PESISIR
Menuju Sejarah Budaya Asia Tenggara
By : Adrian
Vickers, Bambang
Purwanto , Arif B. Prasetyo
Published
: 2009
Published
by : Pustaka Larasan dan Udayana University Press
Edition language :
Indonesian
Point :
·
Kondisi historiografi sejarah asia
tenggara
·
Fokus kajian historiografi Asia Tenggara
(wilayah pesisir)
·
Peran dan perkembangan khazanah cerita
panji dalam historiografi Indonesia
Historiografi
atau penulisan sejarah dalam ilmu sejarah merupakan titik puncak seluruh
kegiatan penelitian sejarah. Dalam metodologi sejarah, historiografi merupakan
bagian terakhir. Langkah terakhir, tetapi langkah terberat, karena di bidang
ini letak tuntutan terberat bagi sejarah untuk membuktikan legitimasi dirinya
sebagai suatu bentuk di siplin ilmiah[1].
Historiografi tidak terlepas dari data – data
yang mendukung guna penulisan sejarah. Historiografi merupakan usaha pendataan
sumber – sumber yang telah tersedia terhadap kajian – kajian kritis yang ada.
Metode – metode dan pendekatan – pendekatan yang di dapat atau telah terbukti
di manfaatkan untuk mempelajari bahan – bahan dan terhadap masalah teoritis
yang berkaitan dengan penulisan sejarah.
·
Kondisi
historiografi sejarah asia tenggara
Historiografi Asia Tenggara ini merupakan
kumpulan tulisan dari orang Eropa Barat, Asia, dan amerika yang masing – masing
dengan latar belakang kebudayaan dan tradisi ilmunya sendiri. Yang terpenting
dalam penulisan sejarah Asia Tenggara, bilamana sejarawan dapat melepaskan diri
dari kungkungan sumber – sumber Eropa.
Penulis
dalam buku ini memaparkan bahwa fokus historiografi adalah di satu masa Asia
Tenggara sebagai sebuah entitas dan indentitas di masa lalu yang merupakan
sebuah kawasan dimana di dalamnya saling berbagi pengalaman sejarah bersama dan
tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain secara kultural hanya karena perbedaan
kesukubangsaan, politis dan letak geografis.
“Dan bahwa siapapun yang punya cukup waktu,
kemampuan berbahasa dan sumber, tidak mungkin bisa membuat generalisasi tentang
keseluruhan masa silam Asia Tenggara (Macdonald 1961: 326-335)”. Sekilas kutipan
tersebut setidaknya dapat menggambarkan pandangan
penulis terhadap bagaimana kondisi historiografi Asia Tenggara sampai saat ini.
Bahwa Sejarah Asia Tenggara pada sebelum abad ke-20 telah mendominasi.
Namun, penulis memaparkan bahwa kajian tersebut
belum meng-Asia Tenggara secara budaya. Dengan kata lain, belum adanya pengkajian
sebagai sebuah kawasan dalam pengertian lokal.
Penulis
memberikan contoh Reid dan Lieberman yang bekerja dalam paradigma yang
digariskan Van Leur (1983) dan Smail (1961) yang sulit untuk mengupayakan tercapainya
historiografi Asia Tenggara yang benar-benar mengsia-tenggara[2]. Karena menurut penulis, kaidah cultural dan
mode historiografi yang menjadi landasan dalam penulisan yang mereka pakai
mayoritas berasal dari Eropa, sehingga saya disini menangkap bahwa pengaruh
landasan dan sumber-sumber (sebagaimana dikemukakan penulis) mempengaruhi
karakteristik dan kecenderungan perspektif
dalam penulisan sejarah.
Tulisan Reid tentang Asia Tenggara
merupakan salah satu pioner historiografi Asia Tenggara yang memfokuskan
kawasan ini di sektor perdagangan. Dimana, adanya interaksi kawasan Asia
tenggara dengan Eropa, Cina dan Asia Selatan dalam hubungan dagang. Namun
sektor ini turut mempengaruhi sektor-sektor lain seperti halnya ekonomi,
kebijakan pemerintah dan karakteristik Negara sebagai bagian dari kajian
Historiografi.
Yang menarik adalah pengaruh Eropa dan
Cina dalam kerangka historis linear sebagaimana diungkapkan penulis, membutuhkan periodisasi yang jelas.
Watak linear periodisasi memunculkan basis pembagian “Asia Tenggara” menjadi
unit-unit yang lebih kecil.
·
Fokus kajian historiografi Asia Tenggara
(wilayah pesisir)
Historiografi
sejarah Indonesia tentu tidak hanya memfokuskan kajian pada bidang perdagangan
dan etnisitas, akan tetapi juga merujuk pada kajian agama sebagai salah satu
upaya mengenal khazanah budaya yang berkembang di Asia Tenggara dengan sasaran
topik utama pada wilayah pesisir.
Pesisir
yang secara konseptual menjadi tulang punggung persebaran budaya dan bahasa, Penulis
mengemukakan tentang bagaimana fenomena hibriditas wilayah pesisir dan
mengkritisi kontruksi religiusitas yang di kaji oleh penulis-penulis Eropa
dimana mereka cenderung mendefinisikan dan memfokuskan kajian bahwa masyarakat
pesisir identik dengan islam. Oleh
karenanya yang bukan islam juga sering dianggap tidak menjadi bagian dari
pesisir.
Penulis
menilai adanya diskriminasi akibat kurang adanya rekonstruksi yang mendalam
pada obyek kajian wilayah pesisir. Memandang wilayah pesisir dari sisi religiusitas
hendaknya juga tidak mengesampingkan penganut Hindu (seperti halnya di Bali)
dan penganut Budhis (seperti yang ada di Thailan), dimana mereka juga memiliki
pertalian atau hubungan yang tidak dapat di kesampingkan sebagai bagian dari
masyarakat yang hidup di wilayah pesisir. Dengan konteks demikian Vickers
melihat Bali sebagai bagian dari budaya pesisir yang tidak melulu membenarkan
dengan ke-islam-an itu sendiri. Bali dan Islam juga digambarkan dalam interaksi
yang menurut Vickers berlangsung dalam konteks budaya pesisir yang tidak
mengekslusifkan posisi Bali yang non-islam.
Sedangkan
ketika kita melihat dan mengkaji pesisir dari sektor budaya, wilayah pesisir merupakan
khazanah barter kebudayaan, meliputi bahasa (melayau, jawa) maupun bentuk-bentuk
kultural lain seperti tari, keris dsb. Hibriditas wilayah pesisir telah ada
semenjak dulu, sejak awal mula adanya interaksi masyarakat kawasan Asia
Tenggara dengan wilayah lokal maupun interaksi dengan dunia luar. Asia Tenggara
seperti yang telah dikemukakan Reid sebagai
salah satu basis perdagangan, menciptakan interaksi dan memunculkan berbagai
akulturasi budaya sehingga topik wilayah pesisir tidak bisa kita fokuskan hanya pada satu
agama atau etnisitas tertentu.
Salah
satu fakta dalam catatan sejarah terkait kehidupan dan interksi masyarakat
pesisir adalah awal mula masuknya Islam ke Indonesia yang dibawa oleh para
pedagang Arab, Persia, Cina dan India. Mereka tidak hanya melakukan perjalanan
dagang, namun juga turut membawa dan menyebarkan agama islam dan memperkenalkan
serta menciptakan akulturasi budaya dengan penduduk pribumi yang ketika itu
didominasi oleh penganut hindu-budha.
·
Peran
dan perkembangan khazanah cerita panji dalam historiografi Indonesia
Khazanah cerita Panji rasanya tidak dapat
ditinggalkan ketika kita membahas tentang budaya pesisir.
Berkisah
tentang sebaran cerita panji di Nusantara (Asia Tenggara). Vickers sendiri lama
mengkaji cerita panji di Bali. Ia kemudian melihat cerita panji yang awalnya
lahir di zaman Jayabaya menyebar di banyak tempat di Nusantara, diadopsi dalam
budaya lokal setempat. Cerita panji yang alur ceritanya tentang pangeran yang
terbuang dari istana karena intrik politik dan perjuangannya kembali merupakan
sesuatu yang menurut penulis sisi lokal yang lebih mewakili kebudayaan
"bersama" atas multikulturalisme suku bangsa di Nusantara.
Penulis
menuturkan peran khazanah cerita Panji yang menjadi jalan masuk mengenal budaya
pesisir. Cerita yang dikemas dalam berbagai bentuk bahasa ini dengan area
penyebaran di kawasan lokal dan mancanegara, proses penyebarannya disebut
penulis sebagai “proses pesisir” yang menggambarkan watak cultural dan etnis
keserumpunan budaya keraton di kawasan pesisir. Dengan keserumpunan inilah
penulis mengkategorikan bahwa “Asia Tenggara” sebelum Perang Dunia II berbentuk
anakronisme kecuali jika kita memahaminya sebagai sebuah “peradaban pesisir”
Khazanah
cerita Panji menuturkan tentang seluk-beluk istana, kondisi perpolitikan suatu
kerajaan, peran perempuan, kekuasaan, tata krama, pakaian dan lainnya yang
menggambarkan kehidupan di sepanjang wilayah pesisir dengan pencitraan keraton
yang ada di dalamnya. Cerita Panji yang bermula di Jawa ditunjukkan dengan
bukti Arkeologis tertua Kerajaan Majapahit abad ke-14.[3]
Sepanjang
kelanjutan tulisannya penulis memaparkan tentang cerita-cerita Panji tidak hanya hidup pada
orang Melayu, Jawa, atau Thai yang merasa terikat pada ikatan biologis,
antropologis, dan politis tertentu, melainkan juga menyebar secara merata ke
seluruh wilayah ini melewati batas-batas ikatan sempit yang ada.
Peran
cerita Panji dan berbagai versi cerita yang berkembang di seluruh pelosok.
Tidak hanya itu, penulis juga menampilkan daftar keraton dan membandingkannya
antara masa lalu dan yang ada pada masa kini dengan berbagai kemajemukan yang
ada didalamnya. Penulis juga menyatakan bagaimana peran cerita Panji sebagai
media interaksi dan tolak ukur dalam mengenal karakteristik pangeran dan
pejabat keraton.
[1]
Dr.
w. Poespopronjo, L. ph., S.s, Subyektifitas Dalam historiografi, Remadja, Karya
CV Bandung, 1987, Hal 1
[2] Pada
akhir 1950-an, A.W. Macdonald mengajukan gagasan serupa yang diterbitkan pada
tahun yang sama dengan artikel Smail, A.W. Macdonald, “The application of a
South East Asia-Centric Conception of History to mainland South East Asia”.
Dalam D.G.E. Hall (ed), Historians of
South East Asia, London; Oxford,1961,h 326-335.
[3] R.M. Ng. Poerbatjaraka, Pandji-Verbalen Onderling Vergeleken.
Bandoeng: Nix, 1940 yang meringkas bukti ini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar