Sabtu, November 10, 2012

Historiografi Indonesia









PERADABAN PESISIR
Menuju Sejarah Budaya Asia Tenggara



By : Adrian Vickers, Bambang Purwanto (Foreword), Arif   B. Prasetyo (Translator)
                                                                                     
                                                                                    
  Published        : 2009
  Published by   :  Pustaka Larasan dan Udayana University Press
  Edition language         : Indonesian



Point :
·       Kondisi historiografi sejarah asia tenggara
·       Fokus kajian historiografi Asia Tenggara (wilayah pesisir)
·        Peran dan perkembangan khazanah cerita panji dalam historiografi Indonesia

Historiografi atau penulisan sejarah dalam ilmu sejarah merupakan titik puncak seluruh kegiatan penelitian sejarah. Dalam metodologi sejarah, historiografi merupakan bagian terakhir. Langkah terakhir, tetapi langkah terberat, karena di bidang ini letak tuntutan terberat bagi sejarah untuk membuktikan legitimasi dirinya sebagai suatu bentuk di siplin ilmiah[1].
  Historiografi tidak terlepas dari data – data yang mendukung guna penulisan sejarah. Historiografi merupakan usaha pendataan sumber – sumber yang telah tersedia terhadap kajian – kajian kritis yang ada. Metode – metode dan pendekatan – pendekatan yang di dapat atau telah terbukti di manfaatkan untuk mempelajari bahan – bahan dan terhadap masalah teoritis yang berkaitan dengan penulisan sejarah.
·                                 Kondisi historiografi sejarah asia tenggara
  Historiografi Asia Tenggara ini merupakan kumpulan tulisan dari orang Eropa Barat, Asia, dan amerika yang masing – masing dengan latar belakang kebudayaan dan tradisi ilmunya sendiri. Yang terpenting dalam penulisan sejarah Asia Tenggara, bilamana sejarawan dapat melepaskan diri dari kungkungan sumber – sumber Eropa.
Penulis dalam buku ini memaparkan bahwa fokus historiografi adalah di satu masa Asia Tenggara sebagai sebuah entitas dan indentitas di masa lalu yang merupakan sebuah kawasan dimana di dalamnya saling berbagi pengalaman sejarah bersama dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain secara kultural hanya karena perbedaan kesukubangsaan, politis dan letak geografis.
 “Dan bahwa siapapun yang punya cukup waktu, kemampuan berbahasa dan sumber, tidak mungkin bisa membuat generalisasi tentang keseluruhan masa silam Asia Tenggara (Macdonald 1961: 326-335)”. Sekilas kutipan tersebut setidaknya dapat  menggambarkan pandangan penulis terhadap bagaimana kondisi historiografi Asia Tenggara sampai saat ini. Bahwa Sejarah Asia Tenggara pada sebelum abad ke-20 telah mendominasi. Namun,  penulis memaparkan bahwa kajian tersebut belum meng-Asia Tenggara secara budaya. Dengan kata lain, belum adanya pengkajian sebagai sebuah kawasan dalam pengertian lokal.
Penulis memberikan contoh Reid dan Lieberman yang bekerja dalam paradigma yang digariskan Van Leur (1983) dan Smail (1961) yang sulit untuk mengupayakan tercapainya historiografi Asia Tenggara yang benar-benar mengsia-tenggara[2].  Karena menurut penulis, kaidah cultural dan mode historiografi yang menjadi landasan dalam penulisan yang mereka pakai mayoritas berasal dari Eropa, sehingga saya disini menangkap bahwa pengaruh landasan dan sumber-sumber (sebagaimana dikemukakan penulis) mempengaruhi karakteristik dan kecenderungan perspektif  dalam penulisan sejarah.
       Tulisan Reid tentang Asia Tenggara merupakan salah satu pioner historiografi Asia Tenggara yang memfokuskan kawasan ini di sektor perdagangan. Dimana, adanya interaksi kawasan Asia tenggara dengan Eropa, Cina dan Asia Selatan dalam hubungan dagang. Namun sektor ini turut mempengaruhi sektor-sektor lain seperti halnya ekonomi, kebijakan pemerintah dan karakteristik Negara sebagai bagian dari kajian Historiografi.
       Yang menarik adalah pengaruh Eropa dan Cina dalam kerangka historis linear sebagaimana diungkapkan penulis, membutuhkan periodisasi yang jelas. Watak linear periodisasi memunculkan basis pembagian “Asia Tenggara” menjadi unit-unit yang lebih kecil.
·                               Fokus kajian historiografi Asia Tenggara (wilayah pesisir)
Historiografi sejarah Indonesia tentu tidak hanya memfokuskan kajian pada bidang perdagangan dan etnisitas, akan tetapi juga merujuk pada kajian agama sebagai salah satu upaya mengenal khazanah budaya yang berkembang di Asia Tenggara dengan sasaran topik utama pada wilayah pesisir.
Pesisir yang secara konseptual menjadi tulang punggung persebaran budaya dan bahasa, Penulis mengemukakan tentang bagaimana fenomena hibriditas wilayah pesisir dan mengkritisi kontruksi religiusitas yang di kaji oleh penulis-penulis Eropa dimana mereka cenderung mendefinisikan dan memfokuskan kajian bahwa masyarakat pesisir  identik dengan islam. Oleh karenanya yang bukan islam juga sering dianggap tidak menjadi bagian dari pesisir.
Penulis menilai adanya diskriminasi akibat kurang adanya rekonstruksi yang mendalam pada obyek kajian wilayah pesisir. Memandang wilayah pesisir dari sisi religiusitas hendaknya juga tidak mengesampingkan penganut Hindu (seperti halnya di Bali) dan penganut Budhis (seperti yang ada di Thailan), dimana mereka juga memiliki pertalian atau hubungan yang tidak dapat di kesampingkan sebagai bagian dari masyarakat yang hidup di wilayah pesisir. Dengan konteks demikian Vickers melihat Bali sebagai bagian dari budaya pesisir yang tidak melulu membenarkan dengan ke-islam-an itu sendiri. Bali dan Islam juga digambarkan dalam interaksi yang menurut Vickers berlangsung dalam konteks budaya pesisir yang tidak mengekslusifkan posisi Bali yang non-islam.
Sedangkan ketika kita melihat dan mengkaji pesisir dari sektor budaya, wilayah pesisir merupakan khazanah barter kebudayaan, meliputi bahasa (melayau, jawa) maupun bentuk-bentuk kultural lain seperti tari, keris dsb. Hibriditas wilayah pesisir telah ada semenjak dulu, sejak awal mula adanya interaksi masyarakat kawasan Asia Tenggara dengan wilayah lokal maupun interaksi dengan dunia luar. Asia Tenggara seperti yang telah dikemukakan Reid sebagai salah satu basis perdagangan, menciptakan interaksi dan memunculkan berbagai akulturasi budaya sehingga topik wilayah pesisir  tidak bisa kita fokuskan hanya pada satu agama atau etnisitas tertentu.
Salah satu fakta dalam catatan sejarah terkait kehidupan dan interksi masyarakat pesisir adalah awal mula masuknya Islam ke Indonesia yang dibawa oleh para pedagang Arab, Persia, Cina dan India. Mereka tidak hanya melakukan perjalanan dagang, namun juga turut membawa dan menyebarkan agama islam dan memperkenalkan serta menciptakan akulturasi budaya dengan penduduk pribumi yang ketika itu didominasi oleh penganut hindu-budha.
·                              Peran dan perkembangan khazanah cerita panji dalam historiografi Indonesia
       Khazanah cerita Panji rasanya tidak dapat ditinggalkan ketika kita membahas tentang budaya pesisir.
Berkisah tentang sebaran cerita panji di Nusantara (Asia Tenggara). Vickers sendiri lama mengkaji cerita panji di Bali. Ia kemudian melihat cerita panji yang awalnya lahir di zaman Jayabaya menyebar di banyak tempat di Nusantara, diadopsi dalam budaya lokal setempat. Cerita panji yang alur ceritanya tentang pangeran yang terbuang dari istana karena intrik politik dan perjuangannya kembali merupakan sesuatu yang menurut penulis sisi lokal yang lebih mewakili kebudayaan "bersama" atas multikulturalisme suku bangsa di Nusantara.
Penulis menuturkan peran khazanah cerita Panji yang menjadi jalan masuk mengenal budaya pesisir. Cerita yang dikemas dalam berbagai bentuk bahasa ini dengan area penyebaran di kawasan lokal dan mancanegara, proses penyebarannya disebut penulis sebagai “proses pesisir” yang menggambarkan watak cultural dan etnis keserumpunan budaya keraton di kawasan pesisir. Dengan keserumpunan inilah penulis mengkategorikan bahwa “Asia Tenggara” sebelum Perang Dunia II berbentuk anakronisme kecuali jika kita memahaminya sebagai sebuah “peradaban pesisir”
Khazanah cerita Panji menuturkan tentang seluk-beluk istana, kondisi perpolitikan suatu kerajaan, peran perempuan, kekuasaan, tata krama, pakaian dan lainnya yang menggambarkan kehidupan di sepanjang wilayah pesisir dengan pencitraan keraton yang ada di dalamnya. Cerita Panji yang bermula di Jawa ditunjukkan dengan bukti Arkeologis tertua Kerajaan Majapahit abad ke-14.[3]
Sepanjang kelanjutan tulisannya penulis memaparkan tentang  cerita-cerita Panji tidak hanya hidup pada orang Melayu, Jawa, atau Thai yang merasa terikat pada ikatan biologis, antropologis, dan politis tertentu, melainkan juga menyebar secara merata ke seluruh wilayah ini melewati batas-batas ikatan sempit yang ada.
Peran cerita Panji dan berbagai versi cerita yang berkembang di seluruh pelosok. Tidak hanya itu, penulis juga menampilkan daftar keraton dan membandingkannya antara masa lalu dan yang ada pada masa kini dengan berbagai kemajemukan yang ada didalamnya. Penulis juga menyatakan bagaimana peran cerita Panji sebagai media interaksi dan tolak ukur dalam mengenal karakteristik pangeran dan pejabat keraton.



[1] Dr. w. Poespopronjo, L. ph., S.s, Subyektifitas Dalam historiografi, Remadja, Karya CV Bandung, 1987, Hal 1
[2] Pada akhir 1950-an, A.W. Macdonald mengajukan gagasan serupa yang diterbitkan pada tahun yang sama dengan artikel Smail, A.W. Macdonald, “The application of a South East Asia-Centric Conception of History to mainland South East Asia”. Dalam D.G.E. Hall (ed), Historians of South East Asia, London; Oxford,1961,h 326-335.
[3]  R.M. Ng. Poerbatjaraka, Pandji-Verbalen Onderling Vergeleken. Bandoeng: Nix, 1940 yang meringkas bukti ini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar